IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL BERDASARKAN KONSTRUKSI PEMBELAJARAN DI SMA NEGERI 2 DEMAK
Penulis: Ahmad Muthohar, S.Pd
Pendidikan multikultural pada SMA Negeri 2 Demak tidak dilaksanakan secara langsung mengarah pada program multikultural, tetapi melalui proses yang menekankan pada hal-hal yang berkaitan dengan internalisasi nilai kepada peserta didik. Hal tersebut telah menjadi model bagi sekolah dalam mengemas pendidikan formal untuk dapat mencapai tujuan sebagaimana mestinya.
Berbeda juga dengan beberapa model sekolah formal yakni sekolah swasta maupun negeri baik yang berkategori sekolah umum maupun yang memiliki program boarding school dengan asrama sebagai salah satu modal bagi sekolah agar lebih intensif dalam melihat pola aktivitas sehari-hari peserta didik. Asrama yang merupakan pendukung melalui pendidikan non formal juga dianggap sebagai alat untuk menjalankan sistem pengawasan (kontrol) secara rutin dan berkala. Mengedepankan daya pelengkap dari pendidikan formal di sekolah, SMA Negeri 2 Demak tetap berpegang pada kekhasan dari pada sekolah tanpa wujud asrama sebagai fasilitas pendukung pendidikan multikultural. Ciri khas tersebut selalu dijunjung tinggi untuk perkembangan lembaga (sekolah terkait). Sehingga, sistem boarding school tidak digunakan dalam prakteknya. Oleh karenanya, konstruksi pendidikan multikultural lebih ditekankan pada penanaman nilai-nilai.
Pertama, konstruksi pendidikan multikultural yang dimaksud adalah melalui berbagai aktivitas-aktivitas, tugas, serta peran pendidik dan peserta didik dalm proses kegiatan belajar mengajar. SMA Negeri 2 Demak dalam kegiatan belajar memiliki kurikulum yang sudah sesuai dengan dasar tujuan pendidikan nasional dengan mengikuti pula kurikulum yang tengah berjalan yaitu kurikulum merdeka. Fokusnya ada pada 4 hal yaitu: kompetensi, materi, proses, dan evaluasi. Dengan fokus tersebut, aktivitas dalam kegiatan belajar mengajar mencakup perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
Komunikasi antara pendidik (guru) dengan pendidik, peserta didik dengan peserta didik, dan guru dengan peserta didik di SMA Negeri 2 Demak mengedepankan rasa kekeluargaan. Dalam berkomunikasi dengan peserta didik, guru tidak memandang kepercayaan, tradisi kemasyarakatan, gender, maupun sosial-ekonomi keluarga. Begitu juga dengan peserta didik, setiap bertemu selalu melaksanakan aktivitas baik di dalam maupun di luar pembelajaran seperti biasa. Hal tersebut menjadi bagian penting dalam adanya hidden curriculum, yang mana disamping kurikulum tersebut sifatnya mendukung dalam kurikulum yang transparan.
Upaya yang dilakukan oleh guru dalam membina toleransi peserta didik dilaksanakan dalam bentuk hidden curriculum, diantaranya melalui hal-hal berikut: (1) Melakukan komunikasi dengan peserta didik bersama orangtua tanpa membeda-bedakan dan (2) Guru merupakan teladan bagi para peserta didiknya, sehingga memberikan contoh yang baik.
Kedua, konstruksi pendidikan multikultural yang dimaksud adalah sebuah proses yang mengarah pada penanaman pendidikan multikultural melalui berbagai kegiatan-kegiatan yang secara umum dilaksanakan di SMA Negeri 2 Demak. Adanya program sekolah yang merupakan kegiatan-kegiatan tambahan di luar kelas diantaranya berupa ektrakurikuler mapupun keorganisasian, dan kegiatan tidak terprogram seperti aktivitas-aktivitas perilaku warga sekolah di luar proses kegiatan belajar mengajar di sekolah misalnya penggalangan donasi.
Peserta didik SMA Negeri 2 Demak, dikategorikan sebagai suatu kelompok homogen yang memiliki unsur-unsur pembentuk homogenitas tersebut. Ditambah lagi beberapa tahun terakhir orientasi pendidikan mengedepankan pada sistem zonasi, dimana hampir 60% diantaranya adalah peserta didik lokal. Sedangkan jalur prestasi dan afirmasi masih juga banyak diisi oleh peserta didik dari satu wilayah zonasi. Namun demikian, SMA Negeri 2 Demak tidak menutup diri dalam menjalankan program. Salah satu unsurnya adalah terdapat peserta didik pada beberapa tahun pelajaran terakhir yang berasal dari luar wilayah Demak, terlebih yang berasal dari luar pulau Jawa walaupun hanya sedikit yaitu penerimaan beberapa anak-anak dari Papua.
Dari sinilah SMA Negeri 2 Demak memiliki sisi yang kurang menguntungkan pula dalam perkembangan sikap bermasyarakat sebagai makhluk sosial, karena tidak banyak memiliki variasi atau ragam tersendiri pada suatu keadaan mana kelompok tersebut berada. Sehingga, kondisi tersebut berada pada posisi yang sensitif khususnya dialami oleh peserta didik. Salah satu penyebabnya adalah adanya homogenitas yang terjadi. Apabila kondisi homogenitas tersebut telah nampak, maka dominasi dapat terjadi pada suatu kelompok tersebut karena kelompok yang homogen akan lebih memiliki kekuasaan dalam bermain peran dibandingkan dengan kelompok heterogen yang ada di SMA Negeri 2 Demak.
Dilihat dari latar belakang daerah asal peserta didik, sekarang ini SMA Negeri 2 Demak memiliki peserta didik dari luar zonasi. Peserta didik itulah yang juga perlu mendapat perhatian khusus oleh pihak sekolah. Hal itu tentunya mampu mendorong peningkatan heterogenitas, membawa pandangan bahwa sedikit apapun pengaruh dari pada identitas heterogenitas tersebut akan ada celah internalisasi pendidikan multikultural tersebut muncul dan berkembang.
Tidak dilaksanakannya secara langsung pada program multikultural seperti adanya mata pelajaran khusus ‘pendidikan multikultural’ tidak secara serta merta SMA Negeri 2 Demak mengabaikan pendidikan yang dirasa penting. Namun, secara bermakna mendalam sekolah yang memiliki ciri khas pendidikan adiwiyata memanfaatkan momentum tersebut sebagai bagian dari pelaksanaan pendidikan multikultural yang terencana.
Internalisasi nilai-nilai pendidikan multikultural pada peserta didik SMA Negeri 2 Demak terlihat pada beberapa hal untuk mendorong terbentuknya pendidikan yang diharapkan melalui ‘nilai-nilai universal’. Nilai yang dikembangkan pada nilai universal yaitu menghasilkan perilaku positif bagi pelaku dan orang lain. Nilai-nilai yang dimaksud adalah penghargaan, cinta, damai, kebahagiaan, tanggungjawab, kerjasama, kejujuran, kerendahan hati, toleransi, kesederhanaan, dan persatuan.
Sosiologi menambahkan nilai yang disebut dengan nilai ‘kebersamaan dalam perbedaan’. Bahwasanya, nilai ini dimaknai sebagai suatu hal yang mendasar bagi peserta didik untuk diamalkan mencakup karakteristik dari berbagai macam peserta didik yang tidak dapat dipilah-pilah, maka untuk memahami perbedaan yang banyak tersebut seharusnya dilaksanakan secara bersama-sama, tidak lagi hanya beberapa gelintir orang. Sehingga perbedaan dalam keseragaman dapat dilaksanakan dengan baik. Atas dasar nilai-nilai universal di atas dan mengedepankan prinsip pendidikan multikultural, peserta didik yang berlatar belakang dan kultur wilayah yang cenderung sama yakni Demak dengan beberapa wilayah sekitar mejadikan perbedaan semakin sempit dan lebih cenderung seragam. Namun pada pelaksanaannya tetap dapat berlangsung sesuai kondisi yang ada. Beberapa nilai universal tersebut dikonstruksikan dalam beberapa perilaku yang tetap mengarah pada latar belakang dan kultur peserta didik (meliputi: tradisi kemasyarakatan, sosial ekonomi, gender, dan tradisi keagamaan) sebagaimana pada beberapa prinsip. Prinsip tersebut mengacu pada 2 kategori yakni. Pertama, dibangun berdasakan prinsip demokrasi, kesetaraan, dan keadilan. Dan kedua, dibangun atas dasar pengakuan penerimaan, dan penghargaan.
Semoga apa yang Penulis hasilkan ini dapat menjadikan kita bertindak secara toleransi atas identitas yang masing-masing warga sekolah miliki dan dapat menjadi sekolah yang memahami pendidikan multikultural tersebut.